Sejarah Pasir Kaliki
Pasir Kaliki, merupakan wilayah paling utara dari Kelurahan Sadang Serang, daerah ini dulu dikenal dengan makam / kuburan. Bila ada warga Sadang Serang dan sekitarnya yang meninggal dunia, biasanya dimakamkan di kuburan Pasir Kaliki.
Menurut salah seorang tokoh yang tinggal di Pasir Kaliki, dan lahir di daerah ini pada tahun 1932, Bpk Ato Yusman yang tinggal di RW. 18 RT. 05, nama Pasir Kaliki menurut sesepuh dahulu diambil dari potensi yang dimiliki oleh tempat ini, Dulu daerah ini banyak ditanami pohon kaliki, pohon ini mempunyai biji 4 buah yang terbelah dan keluar karena sudah matang. Konon kabarnya buah ini dahulu sering digunakan untuk penerangan / obor bila malam hari, bijinya dibakar, dan dapat pula dipakai untuk menyembuhkan orang yang budeg / torek / tuli, caranya buah kaliki / daun kaliki direbus, bila sudah panas uapnya ditiup diarahkan ke telinga yang sakit Insya Allah sembuh.
Penduduk asli daerah Pasir Kaliki awalnya merupakan penduduk pindahan dari kampung Cihapit Gempol. Pada waktu itu masih zaman penjajahan Belanda, kampung Cihapit Gempol akan dibangun perumahan / rumah dinas pegawai pemerintah. Selanjutnya direlokasi ke daerah Pasir Kaliki ini.
Pada tahun 1960-an awalnya daerah Pasir Kalili terbagi 2 wilayah yaitu Pasir Kaliki Kulon dan Pasir Kaliki Reuma termasuk didalamnya sebagian wilayah kelurahan Sukaluyu yaitu wilayah Babakan Jawa (sekarang daerah Mesjid Al-Ahkam). karena mengalami pemekaran maka wilayah Pasir Kaliki berubah menjadi 3 wilayah yaitu Pasir Kaliki Barat (RW 15), Pasir Kaliki Tengah (RW 18) dan Pasir Kaliki Timur (RW 19) sekarang. Nama Babakan Jawa dulunya mempunyai sejarah tersendiri.
Menurut Pria pensiunan Pos Giro ini, dulu daerah ini lahannya kosong berupa kebun. Pertama dihuni oleh dua orang pedagang asongan/tukang loak kebetulan berasal dari jawa yang merantau di Jawa barat, Karena tidak memiliki rumah maka kedua orang tersebut mendirikan sasaungan, begitu istilah pak Ato menyebutkan rumah dengan istilah sasaungan, mungkin karena sederhananya seperti saung. Lama kelamaan kedua orang tersebut membawa teman- teman seprofesinya yang juga kebetulan orang jawa menduduki daerah ini, mulailah tempat ini dihuni oleh etnis jawa.
Masih menurut pak Ato Pada tahun 1970-an tempat ini dihuni oleh seratus persen orang jawa. Maka jadilah tempat ini dengan sebutan Babakan Jawa atau sekumpulan orang jawa.
Demikian juga dengan daerah Pasir Kaliki Reuma, disebut Pasir Kaliki Reuma karena pada saat itu lahannya masih banyak ditumbuhi kebun bambu yang lebat layaknya seperti hutan, dan kuburan. Bila seseorang melewati hutan bambu ini pada waktu sore hari akan merasa ciut/takut, sebab suasananya sangat sepi dan gelap, yang terdengar hanya suara angin dan gesekan-gesekan pohon bambu yang membuat bulu kuduk berdiri, ditambah lokasi tersebut sangat dekat dengan kuburan. Oleh karena itu sebutan Reuma sangatlah cocok untuk daerah ini, karena arti Reuma menurut bahasa sunda artinya hutan demikian kata ustadz Usman seorang ustadz yang masih fasih menggunakan bahasa sunda lemes, yang pernah penulis tanyakan pada waktu pengajian di Mesjid Al-Ishlah Sadang Saip.
Seperti tadi diungkapkan bahwa sebagian besar lahan wilayah Pasir Kaliki ini penggunaan lahannya didominasi lahan kuburan. Penggunaan lahan kuburan ini cukup luas mulai dari ujung jalan Cikondang sekarang Cikutra Barat, Pasir Kaliki Tengah, sampai keujung Pasir Kaliki Barat (jalan terminal sekarang). Karena semakin banyak warga yang membangun rumah di wilayah ini sedangkan lahan yang tersedia semakin terbatas, maka lahan kuburan semakin terdesak.
Semakin hari semakin tidak nyaman dan tidak sehat tinggal di Pasir Kaliki, hal ini dapat dilihat dari penggunaan lahan yang tidak teratur yaitu berbaurnya lahan pekuburan dengan rumah penduduk, kuburan sering digunakan untuk jemur kasur warga dan tempat main anak-anak. Sesuai dengan perkembangan wilayah dan pesatnya pembangunan perumahan khususnya pembangunan Perumnas Sadang Serang, maka pada awal tahun tujuh puluhan, tepatnya tahun 1973-1977. sudah banyak makam yang dibongkar. Perubahan lahan makam menjadi lahan perumahan pun dilakukan secara bertahap.
Sejarah perubahan makam menjadi rumah penduduk menurut Pak Ato, awalnya lahan kuburan ini statusnya terdiri dari lahan wakaf dan lahan milik pribadi. Karena lahan pribadi yang tidak digunakan cukup luas dan tidak produktif, maka pemilik lahan pertama memperbolehkan bila ada warga atau kerabat yang tidak punya tanah untuk dimakamkan di lahan miliknya. Namun karena pemilik pertama lahan ini sudah meninggal dan meninggalkan surat tanah adat bagi anak cucunya, maka oleh anak-cucunya lahan tersebut dijual belikan ke pada orang/lembaga yang membutuhkan, apa lagi pada tahun tersebut pembangunan jalan, pasar, dan terminal sebagai pendukung perumnas Sadang Serang sedang giat-giatnya dilakukan.
Fasilitas pasar, terminal dibangunan hampir bersamaan dengan dibangunnya Perumnas Sadang serang ( sebagai sarana pendukung) sedangkan pasar loak Cihapit Sadang Serang dibangun pada tahun 1990-an, lahan pasar loak Cihapit ini merupakan lahan pengganti dari lahan pasar loak Cihapit Cibeunying bagi pedagang yang dipindahkan.
Di Wilayah Pasir Kaliki terdapat Lapangan yang cukup luas (Lapangan sepak bola sekarang), Lapang ini pada tahun 1980 an pernah dijadikan tempat adu bagong (babi hutan). Adu bagong adalah atraksi perburuan seekor babi hutan / bagong oleh beberapa ekor anjing (biasanya lebih dari dua ekor) didalam satu tempat tertutup dibatasi oleh pagar yang terbuat dari bilik dan bamboo yang sengaja dibuat oleh panitia adu bagong.
Anjing – anjing ini dimiliki oleh warga yang sengaja dilatih berburu untuk diadukan dengan babi hutan. Biasanya anjing yang dapat mengalahkan babi hutan dalam setiap atraksi mempunyai nilai jual yang tinggi. Artraksi ini merupakan salah satu hiburan warga yang banyak diminati pada masa itu. Setiap warga yang akan menonton atraksi ini dikenai biaya karcis masuk.
Selain itu Lapangan Pasirkali juga sering digunakan untuk menonton layar tancap (bioskop terbuka) Alias misbar (gerimis bubar) dalam acara – acara tertentu yang diadakan pada waktu malam hari, serta pertandingan sepak bola antar klub sepak bola, dalam perkembangannya lapang yang memiliki multi fungsi ini, pernah memakan korban (meninggal) ketika terjadi turnamen pertandingan sepak bola antar klub Paksi dari sekeloa dan klub dari Ciparay. Karena model sepatu zaman dulu alas sepatu masih menggunakan semacam paku, pada waktu itu pemain belakang klub sekeloa terkenal dengan nama Sigobang beradu dengan lawan mainnya, dimana posisi kaki sigobang berhasil menembus tubuh lawan mainnya.Peristiwa ini merupakan peristiwa jatuhnya korban pertama dalam ajang pertandingan sepak bola di pasir Kaliki ujar Pak Ato.
Daerah sekitar Pasir Kaliki juga di kelilingi sawah, mata air, kebun bambu, rawa. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama tempat yang menggunakan nama tempat tersebut, sebut saja Sekeloa (nama mata air), Sadang Serang (sawah), Reuma (hutan), Haur mekar, Haur Pancuh (Pohon Haur/bambu) Ranca Oyo (nama Rawa), dsb. Untuk nama tempat yang disebutkan terakhir (Ranca Oyo) Wilayah Pasir Kaliki Barat / Pasbar, juga merupakan tempat yang mempunyai kenangan indah khususnya bagi penulis.
Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, tempat ini merupakan tempat bermain yang paling berkesan bagi penulis semasa kanak-kanak, diantaranya sebagai tempat pangojayan / tempat berenang, tempat mandi bagi sebagian penduduk. Ditempat ini terdapat curug / air terjun kecil yang bernama curug Oyo, sawah, dan galian pasir. Curug Oyo (sering digunakan masyarakat setempat untuk mandi , berenang, mancing ikan dan mencari impun). Sawah tempat ngurek belut, mencari papatong / capung, dan mencari tutut. Hasil galian pasir banyak digunakan untuk kebutuhan pembangunan rumah penduduk sendiri dan sebagian dijual.
Suasana pada waktu itu sangat asri dan sejuk. Namun belakangan tempat ini menjadi tempat yang sangat padat dengan bangunan penduduk, tanah ditutup dengan semen dan aspal, lebar sungai menjadi kecil dan dangkal, sehingga sering terjadi banjir yang mengakibatkan rumah penduduk tergenang air sampai satu meter lebih. Hal ini disebabkan semakin terbatasnya resapan air kedalam tanah, dan kapasitas penampungan air selokan menjadi kecil.
Banjir terakhir terjadi di awal bulan Maret 2005, mengakibatkan kerugian harta benda dan rusaknya lingkungan sekitar.